Pekerjaan yang Gagal: Suatu Pengalaman

Dalam tiga hari ini saya mendapakan pengalaman menarik  yang sekaligus memberikan hikmah penting. Di sebelah rumah, tukang sedang melaksanakan pembuatan tangga beton untuk musala (karena musala direncanakan dua lantai). Area tangga yang akan dibuat adalah: tinggi tangga (vertikal) adalah 320 cm (tinggi lantai pertama ke lantai kedua), dan panjang tangga (horizontal) adalah 350 cm. Si tukang akan membuat anak tangga dengan tinggi (tanjakan) 20 cm dan lebar anak tangga  (pijakan) 30 cm.

Saya mendatangi si tukang dan menjelaskan bahwa itu tidak mungkin bisa dibuat. Kalau tinggi anak tangga  (tanjakan) 20 cm, dengan tinggi tangga secara keseluruhan 320 cm, maka akan ada 16 tanjakan (320/20) . Kalau ada 16 tanjakan, berarti harus ada 15 pijakan (16 dikurangi satu, karena sudah termasuk pijakan lantai atas atau bawah). Kalau 15 pijakan dengan lebar pijakan 30 cm, maka panjang tangga keseluruhan (horizontal) adalah 15 x 30 cm = 450 cm. Padahal lokasi yang disediakan hanya 350 cm.

Si Tukang menjawab bahwa membuat tangga tidak bisa dihitung seperti itu. Si Tukang juga menjelaskan bahwa mereka sudah biasa membuat tangga dengan cara membuat dulu kerangka dari kayu untuk dasar kemiringan tangganya, kemudian baru dihitung dan dipatok/diukur posisi anak tangganya.

Karena tidak mampu menjelaskan perhitungan secara matematik, saya coba buat gambar sederhana untuk memberikan penjelasan seperti berikut:

tangga

Tetapi si tukang tetap bertahan dengan pengalamannya membuat tangga selama ini. Dia mulai membuat kerangka dari kayu untuk dasar kemiringan tanggan dan merangkai besi untuk cor lantai kemiringan tangga. Dua hari bekerja, memasuki hari ketiga ketika mulai menghitung dan mematok posisi anak tangga, si Tukang kebingungan karena dia hanya berhasil membuat 11 anak tangga, dan tangga menggantung, dalam artian dari pijakan anak tangga terbawah ke lantai dasar terdapat jarak  sekitar 80 cm. Dengan ukuran setinggi tersebut, tentunya sangat tidak layak melangkah terutama bagi anak-anak dan orang tua.

Sekali lagi saya mendatangi si Tukang, dan menjelaskan kembali perhitungan yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Tetapi dengan pelan-pelan dan bahasa sederhana. Akhirnya si Tukang memahami, dan kemudian membongkar kerangka yang sudah dibuat, menambah panjang tangga secara keseluruhan menjadi 450 cm, dan terpaksa juga membongkar sebagian lantai bagian atas yang sudah dicor (memperlebarnya). Pekerjaan dua hari si Tukang, ditambah dengan satu hari untuk membongkar pekerjaan yang dua hari tersebut, akhirnya menjadi sia-sia dan tidak memberikan hasil.

Pengalaman ini memang sederhana, sesederhana membuat tangga. Tapi banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan disini, diantaranya:

  1. Dalam bekerja, kita tidak bisa hanya mengandalkan pengalaman semata. Pengalaman semata hanya dapat diandalkan kalau pekerjaan yang dihadapi memiliki karakteristik yang persis sama dengan pekerjaan yang sebelumnya pernah dilakukan (misalnya dalam kasus tangga ini, panjang, tinggi, lebar tangga yang sama).
  2. Kegagalan si Tukang disebabkan dua hal: Pertama, dia mengabaikan perencanaan dalam bekerja dan kedua, dia tidak memiliki pengetahuan/teori/logika tentang apa yang dikerjakan (hanya mengandalkan pengalaman semata).
  3. Kalau dalam kasus ini posisi saya boleh dianggap sebagai perencana kecil-kecilan dan orang yang memiliki teori yang juga kecil-kecilan, saya juga termasuk gagal. Sebagai perencana, saya gagal meyakinkan pelaksana (si Tukang) bahwa merencanakan sesuatu itu penting sebelum melaksanakan pekerjaan. Sebagai orang yang memiliki teori saya juga gagal mentransfer dan memadukan teori tersebut kepada si Tukang yang punya pengalaman.
  4. Tapi, saya juga tidak boleh berbangga hati sebagai perencana dan orang yang memiliki teori. Karena tanpa adanya si Tukang sebagai pelaksana dan yang memiliki pengalaman/keterampilan, tangga musala itu juga tidak akan bisa dibuat. Karena saya sendiri tidak punya pengalaman/keterampilan bertukang.
  5. Dari berbagai pelajaran tersebut, maka kesimpulan penting yang bisa diambil adalah, perlunya perpaduan antara perencanaan, teori/pengetahuan/logika/pendidikan, pengalaman, dan pelaksanaan yang baik, agar suatu pekerjaan dapat menghasilkan output yang baik dan sesuai dengan yang diharapkan.

Pengalaman ini juga menyisakan satu pertanyaan besar. Kalau mengurus/membuat sesuatu yang sesederhana membuat tangga membutuhkan berbagai paduan elemen perencanaan, teori/pengetahuan/logika/pendidikan, pengalaman, dan pelaksanaan yang baik; (1) apakah kita bisa yakin kalau mengurus sesuatu yang lebih besar (negara, kementerian, daerah dllnya), kita tidak perlu memadukan elemen2 tersebut? Apakah cukup kita serahkan pada orang yang hanya punya keahlian merencanakan tanpa punya pengalaman dan kemampuan kerja yang memadai?  (2) apakah kita bisa yakin menyerahkan pada orang yang hanya punya pendidikan memadai tapi mengabaikan perencanaan, tanpa punya pengalaman dan kemampuan kerja yang memadai? (3) apakah kita bisa yakin menyerahkan pada orang yang hanya punya pengalaman tapi mengabaikan perencanaan, tanpa punya pendidikan dan kemampuan kerja yang memadai? Atau (4)  apakah kita bisa yakin menyerahkan pada orang yang hanya punya kemampuan kerja yang memadai tapi mengabaikan perencanaan?

Pelaksanaan PPDB Kota Jambi 2014 (Catatan untuk Dinas Pendidikan Kota Jambi dan Orang Tua Siswa)

Oleh : Junaidi

Tahun ini Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Jambi telah membuat langkah maju dalam  Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) khususnya untuk jenjang pendidikan SMP, SMA dan SMK Negeri. Langkah ini patut diberikan pujian dalam mewujudkan PPDB yang tertib, aman, lancar, transparan dan akuntabel. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya, ternyata menimbulkan berbagai keresahan  orang tua siswa. Baik karena sering error nya website untuk pendaftaran PPDB online sehingga susah untuk diakses, kesalahan sistem sehingga tidak terperingkatnya nilai siswa secara baik dan tersistem, maupun kecurigaan terhadap kemungkinan kecurangan/manipulasi dalam PPDB khususnya PPDB off-line dan berbagai persoalan-persoalan lainnya.

Sebagai sesuatu yang baru, dalam batas-batas tertentu berbagai persoalan tersebut dapat kita maklumi secara bersama. Namun demikian, belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut, ke depan diharapkan Disdik Kota Jambi mampu mengembangkan sistem yang lebih baik sehingga dapat menjadi contoh dan panutan bagi kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jambi. Pengembangan sistem ini tentunya juga harus didukung keinginan bersama masyarakat khususnya orang tua siswa, sehingga PPDB Kota Jambi dapat lebih bersih dan transparan serta bebas dari berbagai kecurangan (atau dugaan kecurangan) dalam pelaksanannya.

Terkait dengan hal tersebut, beberapa catatan sebagai sumbang saran dalam perbaikan PPDB Kota Jambi ke depan.

 

Catatan untuk Disdik Kota Jambi

Dua catatan penting untuk Disdik Kota Jambi yang mungkin dapat berguna untuk penyempurnaan PPDB Kota Jambi ke depan adalah:

Gunakan tenaga profesional dalam mengembangkan website PPDB Online

Berbagai alasan yang dikemukakan Disdik Kota Jambi terkait dengan permasalahan website PPDB menunjukkan bahwa tenaga ahli yang digunakan kurang profesional dalam pekerjaannya. Hal ini terlihat dari alasan-alasan yang dikemukakan di media terkait dengan PPDB online diantaranya:

“Karena datanya masuk secara serentak, maka web nya jadi lambat/down/error”. Pertanyaannya: apakah tidak bisa diantisipasi sebelumnya berdasarkan jumlah lulusan SD dan lulusan SMP yang akan mendaftar ke jenjang yang lebih tinggi? Padahal data tersebut tersedia secara lengkap di Disdik Kota Jambi. Jika dapat diantisipasi tentunya pengembang web dapat menggunakan hosting dan sistem yang lebih sesuai.

“Penundaan pengumuman seleksi karena harus melakukan validasi data dan menyusun peringkat peserta. Validasi menjadi rumit karena ada peserta yang memasukkan nilai salah, misalnya 35,6 dibuat jadi 365, ada peserta yang terdaftar dua kali dan  berbagai alasan lainnya.” Pertanyaannya: apakah tidak bisa dibangun sistem yang bisa menyaring kesalahan-kesalahan tersebut? Apakah tidak bisa dibangun sistem yang mampu menyusun peringkat peserta secara otomatis.

Sebagai catatan, pada awal-awal web PPDB online berlangsung, orang tua siswa masih dapat melihat peringkat sementara anaknya pada sekolah dituju. Adanya menu ini sangat menguntungkan karena orang tua siswa bisa mengantisipasi kemungkinan diterima atau tidak  anaknya pada sekolah tersebut. Dengan demikian, orang tua siswa dapat mencari alternatif sekolah lain (swasta) untuk melanjutkan pendidikan anaknya.

Tetapi beberapa hari kemudian, menu peringkat sementara dihapuskan dari web PPDB. Ini menimbulkan kecurigaan pada orang tua siswa terhadap adanya permainan peringkat penerimaan. Selain itu, dengan dihapuskannya menu peringkat sementara tersebut, PPDB online menjadi kehilangan makna transparansinya.

Perbaikan Sistem PPDB off-line

Dalam Petunjuk Teknis (Juknis) PPDB Kota Jambi dinyatakan bahwa 60% dari daya tampung sekolah diseleksi secara online dan 40% secara offline melalui jalur peserta didik prestasi, peserta didik miskin dan bina lingkungan. Seleksi offline ini rawan menimbulkan kecurigaan orang tua siswa, karena kurangnya sosialisasi mengenai kriteria dalam menentukan kelulusan calon siswa, jika peserta yang mendaftar jalur offline melebihi daya tampung. Sebagai contoh, jika terdapat banyak siswa berprestasi di bidang olah raga, apakah peringkatnya ditentukan oleh skala prestasinya (internasional/nasional/regional/lokal) atau berdasarkan nilai akhir ujian nasionalnya? Pengumuman kelulusan dalam seleksi offline juga tidak mencantumkan dasar penentuan kelulusan tersebut.

Oleh karenanya, perbaikan juknis sistem PPDB offline ke depan menjadi penting dalam rangka menjamin sistem yang lebih transparan dan tidak menimbulkan dugaan adanya penyimpangan.

 

Catatan untuk Orang Tua Siswa

Demi menjamin masa depan yang lebih baik, kita, para orang tua sering terlalu memaksakan anak untuk diterima pada sekolah-sekolah yang dianggap memiliki mutu yang bagus tanpa mempertimbangkan kemampuan anak lolos seleksi pada sekolah yang bersangkutan. Berbagai cara (??)  dilakukan, yang bahkan tanpa kita sadari telah melanggar norma-norma yang harusnya sejak awal ditanamkan pada si anak.

Seandainya dengan berbagai cara tersebut, akhirnya sang anak diterima di sekolah yang dituju (padahal seharusnya tidak lolos kriteria seleksi). Mari sama-sama kita renungkan hal berikut: Pertama, kita telah mencuri hak anak orang lain yang seharusnya bisa lolos seleksi ke sekolah tersebut (penulis menggunakan kata-kata mencuri, karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mencuri berarti mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah). Ini juga berarti kita telah menanamkan suatu nilai pada anak kita sendiri bahwa mencuri adalah sesuatu yang tidak melanggar norma. Kedua, apakah begitu teganya kita memberikan sesuatu yang dicuri (sesuatu yang bukan haknya) kepada anak yang kita sayangi? Anak yang selama ini sudah kita jaga agar terhindar dari segala rezeki yang tidak halal?

Sebagai penutup, semoga renungan ini (yang mudah-mudahan mampu menjadi pencerahan bagi kita sebagai orang tua), serta perbaikan-perbaikan yang dilakukan  oleh Disdik Kota Jambi, dapat menjadikan PPDB Kota Jambi ke depan menjadi lebih baik sebagaimana yang kita harapkan.  Mari bersama menjaga anak-anak bangsa kita.

 

Artikel ini  dimuat pada Harian Jambi Ekspres Tanggal 15 Juli 2014

Sholat Jum’at yang Terganggu

Sholat Jum’at hari ini benar-benar terganggu. Seorang anak kecil yang dibawa bapaknya menangis meraung dengan suara yang keras dan terdengar oleh hampir seluruh jama’ah.

Pilihan si Bapak dalam kondisi ini ada  dua: Pertama, membatalkan sholat Jum’atnya (dan mengganti dengan sholat dzuhur) dan membawa si anak pulang; Kedua,  meneruskan sholatnya dan membiarkan si anak menangis mengganggu  kekhusukan sholat jama’ah yang ada di mesjid.

Ternyata pilihan yang diambil si bapak adalah pilihan kedua, dan alhasil sepanjang sholat terdengarlah suara anak kecil menangis  yang menyaingi suara Imam yang memimpin sholat.

Terlepas dari benar salahnya pilihan sang bapak (maaf saya tidak punya ilmu untuk menentukan benar salahnya pilihan tersebut), sebenarnya terdapat pilihan ketiga yang bisa dilakukan si bapak, yaitu tidak membawa anak-anak yang belum siap ke mesjid. Didik dan ajarlah anak-anak yang masih terlalu kecil tersebut sholat di rumah, dan ketika kita sudah yakin bahwa si anak tidak akan berperilaku mengganggu, barulah kita bawa ke mesjid untuk sholat berjama’ah.

Fenomena semacam ini banyak terjadi di mesjid-mesjid kita. Pada salah satu mesjid yang ada di kompleks perumahan baru (yang kebetulan diisi oleh pasangan usia muda sehingga banyak anak-anak kecil), saya pernah mengalami hal yang sama. Sholat  Jum’at yang diiringi oleh suara anak-anak yang ribut dan berkelakar dan bahkan berlari-larian di dalam mesjid.

Selesai sholat, saya berdiskusi dengan pengurus mesjid, bagaimana cara mengatasi hal tersebut. Jawabnya: “ Kalau kita tidak mengajar anak-anak dari kecil ke mesjid, siapa yang akan menggantikan kita nanti untuk mengisi mesjid. Biasa kan,  anak-anak, biarlah mereka ribut, kita yang tua yang mengalah”.

Pandangan yang kurang tepat menurut saya. Ketika si anak dari kecil sudah merasa bahwa ribut di mesjid diperbolehkan, maka ketika dia menjadi dewasa (menjadi bapak) maka dia juga akan membiarkan anak-anaknya ribut di mesjid. Alhasil, maka selamanya kita akan sholat berjamaah yang diiringi dengan keributan yang ditimbulkan oleh anak-anak.

Marilah kita sama-sama intropeksi diri, sudah benarkah pandangan kita tentang hal tersebut.

Etika Bersalaman

Sehabis shalat Jum’at, jama’ah disamping saya mengulurkan tangan untuk bersalaman. Tidak ada yang aneh memang, karena sepertinya ini memang menjadi tradisi baik yang berkembang di negara kita. Bersalaman ketika bertemu dengan kenalan ataupun ketika berkenalan dengan orang baru, salaman ketika mengakhiri pertemuan (berpisah), salaman ketika lebaran dan lainnya.

Tapi kali ini saya memang agak sedikit tertegun. Jama’ah tadi mengulurkan tangannya untuk bersalaman, tetapi pandangannya tertuju ke arah yang berlawanan dengan saya (mungkin sedang memperhatikan sesuatu yang menarik perhatiannya). Waktu itu timbul pikiran nakal, bagaimana kalau salamnya saya sambut dengan tangan kiri, toh dia juga tidak melihat. He..he…he.

Saya tertegun karena saking mentradisinya bersalaman tangan, membuat kita jadi lupa hakikatnya. Bersalaman pada hakikatnya bertujuan untuk lebih mempererat silaturahmi (dan lebih baiknya tentunya dengan mengucapkan Assalamu’alaikum, saling mendoakan dalam keselamatan). Kita lupa hakikat bersalaman, sehingga ketika bersalaman kita tidak lagi berusaha untuk melihat orang yang disalami. Coba perhatikan, misalnya ketika seseorang datang dalam suatu pertemuan dan menyalami orang-orang yang sudah hadir duluan. Banyak diantara mereka yang menjabat tangan orang tersebut, tetapi dengan tetap mengobrol dengan teman sebelahnya tanpa melihat ke arah orang yang disalami.   Coba perhatikan pada acara halal-bil-halal yang biasa diadakan di kantor-kantor sehabis Idul Fitri. Ketika para bawahan bersalaman dengan para pimpiman kantor tersebut (biasanya pejabatnya berbaris di depan, dan para bawahan antri satu persatu menyalami atasannya), sang pemimpin menyambut salaman bawahannya tetapi sambil tetap mengobrol dengan rekan pimpinan lain yang ada disampingnya. Tidak berusaha menyisihkan waktu sekejap saja untuk menatap bawahannya yang mengulurkan tangan tersebut.

Ini membuat bersalaman menjadi kehilangan makna. Karena kita sering melupakan etikanya.

Jamuan Makan yang Menyiksa

Hari ini, untuk kesekian kalinya saya menghadiri jamuan makan dimana penjamunya (tuan rumah) tidak menyediakan kursi. Hari ini  juga untuk kesekian kalinya saya menyaksikan bagaimana tersiksanya para undangan ketika harus menikmati makanan yang disajikan tersebut. Berdempet-dempet duduk pada kursi yang kebetulan ada di ruangan tersebut (hanya ada beberapa kursi yang tertinggal, yang sebenarnya tidak ditujukan untuk undangan). Mencari-cari celah pada bandul dinding yang kebetulan bisa diduduki sekedar meletakkan separuh dari pantatnya.  Atau yang berdiri, terpaksa  merelakan untuk tidak memakan lauk-lauk yang agak keras di piringnya (seperti daging, ikan  dan lain-lainnya), karena tidak bisa dipotong-dipotong untuk dimakan dalam posisi berdiri tersebut.

“Jamuan makan berdiri” belakangan memang telah menjadi bagian dari gaya berpesta dalam masyarakat kita. Tidak hanya pada acara yang kebetulan saya ikuti hari ini (jamuan makan oleh salah seorang kepala daerah untuk peserta kongres salah satu organisasi profesi), tetapi juga pada pesta-pesta perkawinan dan pesta-pesta keluarga lainnya. Tidak hanya pada acara-acara di kota-kota besar tetapi kebiasaan tersebut juga sudah merambah pada kota-kota kecil di Indonesia.

Hal ini kemudian membuat saya merenung. Mungkin saya tidak lagi bisa (tidak lagi perlu) menasehati anak-anak (seperti saya dinasehati orang tua pada waktu kecil dulu).  “Nak, kalau makan itu duduk yang sopan !!”. Mungkin saya perlu mengajari anak-anak di rumah untuk makan sambil berdiri, sehingga ketika nantinya mereka menghadiri “jamuan makan berdiri” di luar rumah, tidak tersiksa seperti saya saat ini (sebagaimana tersiksanya sebagian besar undangan lainnya dalam ruangan hari ini).  Atau mungkin saya yang belum siap mengikuti perkembangan keadaan.

Entahlah. Yang pasti, pada saat ini, setiap menerima undangan pesta perkawinan dengan acara makan sambil berdiri, saya hanya datang, menyalami penganten dan pulang tanpa menyentuh makanannya. Karena….. memang saya tidak mau menyiksa diri sendiri.

Renungan Gempa Sumbar dan Kerinci

Musibah kembali melanda bangsa kita. Setelah Tsunami Aceh, Gempa Yogya, Gempa Tasikmalaya, sekarang Gempa Sumbar dan Kerinci.

Ribuan terluka parah, ratusan nyawa menjadi korban dalam musibah kali ini, dan masih banyak lagi yang belum diketahui nasibnya, apakah sudah meninggal atau masih hidup, tertimbun tanah dan bangunan atau hilang tanpa dapat dihubungi.

Puluhan ribu rumah hancur, ratusan ribu keluarga mengalami trauma, dan ratusan ribu perantau mengalami kepanikan luar biasa karena tidak dapat berkomunikasi dengan keluarga di kampung (terutama pada hari pertama dan kedua setelah gempa).

Ditengah huru-hara musibah ini, berbagai komentar baik secara lisan maupun tertulis (di media cetak, elektronik maupun di internet) bersiliweran mengkaitkan musibah gempa ini sebagai bagian dari hukuman Tuhan terhadap umatnya.  Diantara komentar tersebut adalah:

  • “Tuhan menyuruh bangunan rumah untuk bersujud, karena penghuni rumahnya tidak mau bersujud”, ini  dikotbahkan oleh khotib pada saat shalat Jum’at (hari ketiga setelah Gempa), bahkan di salah satu mesjid di desa yang terkena gempa.
  • Gempa Sumbar terjadi hari Rabu pukul 17.16. Ini kemudian dikaitkan dengan Surat 17 ayat 16 dalam Al Qur’an yang artinya: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta’ati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.  Komentar ini banyak bermunculan di internet dalam berbagai medianya”.
  • “Di Kota Padang sudah banyak terjadi kemaksiatan, tidak seperti dulu lagi. Maka Tuhan memberikan hukuman/peringatan dalam bentuk gempa”. Ini banyak muncul dalam pernyataan lisan sehari-hari dalam masyarakat kita.
  • Dan banyak lagi komentar senada yang muncul.

Subhanallah. Begitu tidak berperasaannya kita. Ketika masih belum kering air mata banyak orang  menangisi keluarganya yang meninggal. Ketika masih banyak orang tua yang menunggu di reruntuhan bangunan dan berharap agar anaknya yang tertimbun tidak terhunjam oleh mata kait alat berat yang mengangkat runtuhan bangunan tersebut. Ketika kepanikan dan trauma masih melanda sebagian besar masyarakat Sumbar dan Kerinci, sehingga tidak berani tidur di dalam rumah, dan terpaksa tidur menahan dingin malam dengan tenda seadanya.  Begitu teganya kita mencap hal tersebut sebagai akibat mereka tidak bersujud kepada Allah, sebagai akibat mereka melakukan kedurhakaan dan sebagai akibat kemaksiatan yang terjadi.

Saudara-saudaraku. Kalaupun itu benar adanya, bersediakah Anda menahan diri untuk tidak mengungkapkan komentar-komentar tersebut? Karena akan sangat sakit terasa bagi mereka yang menjadi korban.

Saudara-saudaraku. Alangkah baiknya jika yang kita lakukan saat ini adalah berdoa bersama-sama. Demi kesembuhan bagi mereka menderita sakit. Demi kelapangan bagi mereka yang telah mendahului kita. Demi ketabahan bagi keluarga yang ditinggalkan. Demi tidak ada lagi musibah-musibah yang menyesakkan dada ini.

Saudara-saudaraku. Alangkah baiknya, jika kita punya waktu, untuk berkunjung ke lokasi gempa. Mencoba menguatkan hati dan memberikan kesabaran pada mereka yang menjadi korban gempa.

Insya Allah, ini lebih bermanfaat bagi mereka dan tidak terasa menyakitkan.

Mulailah untuk Tidak Berburuk Sangka pada Keadilan Allah

Ini pengalaman kecil, waktu saya menunaikan ibadah haji.

Sudah beberapa hari saya di tanah suci. Sudah beberapa kali juga melaksanakan tawaf mengelilingi Ka’bah. Dan sudah beberapa kali juga saya mencoba mendekati Hajaratul Aswad untuk menciumnya. Namun selalu tidak berhasil. Begitu padatnya orang dan begitu berebutnya mereka yang berniat sama dengan saya.

Sampai suatu ketika, setelah shalat berjamaah, saya mengikuti shalat jenazah karena ada jama’ah haji yang meninggal. Nah, dalam kondisi shalat tersebut, pikiran saya terganggu. Begitu tidak adilnya Tuhan, karena tidak pernah memberikan kesempatan kepada saya untuk mencium Hajaratul Aswad walaupun saya sudah mencoba beberapa kali. Sementara orang lain mendapatkan kesempatan untuk itu.

Krakkk ……. Sebuah kaki menghantam kaca mata saya. Sesuatu yang tidak mungkin sebenarnya. Walaupun tidak semua jamaah mengikuti shalat jenazah, dan ada jamaah berlalu lalang di depan kita waktu shalat, tetapi tidak mungkin kaki tersebut sampai menyentuh kaca mata saya. Kaca mata itu terletak sejajar diantara dua kaki saya. Kaki orang tersebut seakan-akan sengaja digerakkan membelok ke arah kaca mata saya.

Astaghfirullah Al Azim. Subhanallah. Pandangan saya (dalam arti kiasan yaitu pemikiran) sudah berburuk sangka pada keadilan Allah. Saya mendapatkan teguran melalui pecahnya alat bantu pandangan saya (dalam arti sebenarnya yaitu kaca mata).

Mungkin saja saya tidak diberi kesempatan mencium Hajaratul Aswad karena Sang Maha Penyayang mengetahui bahwa fisik saya lemah dan akan cedera jika ikut-ikutan berjubel dan berhimpit-himpitan. Mungkin saja saya tidak diberi kesempatan karena Sang Maha Tahu mengetahui lemahnya iman saya, sehingga takut saya akan menjadi riya, merasa hebat atau mungkin merasa keramat karena sudah berhasil mencium Hajaratul Aswad. Banyak “mungkin mungkin” lainnya yang saya tidak tahu sehingga saya berburuk sangka dengan keadilan Allah.

Subhanallah. Ini hanya pengalaman kecil. Mudah-mudahan tetap menjadi pengingat bagi saya sendiri dan mudah-mudahan bagi yang lainnya. Mulailah untuk tidak berburuk sangka pada keadilan Allah.

Suatu Ketika Seorang Manusia diberi …….

Suatu ketika seorang manusia diberi kesempatan untuk berkomunikasi dengan Tuhannya dan berkata, “Tuhan ijinkan saya untuk dapat melihat seperti apakah Neraka dan Surga itu”.

Kemudian Tuhan membimbing manusia itu menuju ke dua buah pintu dan kemudian membiarkannya melihat ke dalam.

Di tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar yang sangat besar, dan di tengahnya terdapat semangkok sup yang beraroma sangat lezat yang membuat manusia tersebut mengalir air liurnya. Meja tersebut dikelilingi orang-orang yang kurus yang tampak sangat kelaparan.

Orang-orang itu masing-masing memegang sebuah sendok yang terikat pada tangan masing-masing. Sendok tersebut cukup panjang untuk mencapai mangkok di tengah meja dan mengambil sup yang lezat tadi. Tapi karena sendoknya terlalu panjang, mereka tidak dapat mencapai mulutnya dengan sendok tadi untuk memakan sup yang terambil. Si Manusia tadi merinding melihat penderitaan dan kesengsaraan yang dilihatnya dalam ruangan itu.

Tuhan berkata, “Kamu sudah melihat NERAKA”

Lalu mereka menuju ke pintu kedua yang ternyata berisi meja beserta sup dan orang-orang yang kondisinya persis sama dengan ruangan di pintu pertama. Perbedaannya, di dalam ruangan ini orang-orang tersebut berbadan sehat dan berisi dan mereka sangat bergembira di keliling meja tersebut.

Melihat keadaan ini si Manusia menjadi bingung dan berkata “Apa yang terjadi ? kenapa di ruangan yang kondisinya sama ini mereka terlihat lebih bergembira ?”

Tuhan kemudian menjelaskan, “Sangat sederhana, yang dibutuhkan hanyalah satu sifat baik”

“Perhatikan bahwa orang-orang ini dengan ikhlas menyuapi orang lain yang dapat dicapainya dengan sendok bergagang panjang, sedangkan di ruangan lain orang-orang yang serakah hanyalah memikirkan kebutuhan dirinya sendiri”

(Dikutip dari Bulletin Tagged yg dikirimkan oleh Iwan_Divers kepada Saya)

Tak Perlu Ajari Kami Berpuasa

Cerita/tulisan ini saya dapatkan dari milis yang dikirimkan oleh seorang kawan. Dikutipkan disini, mudah-mudahan dapat menjadi renungan kita bersama di bulan yang suci ini. Begini ceritanya
Berpuasa Hari ke tiga di bulan ramadhan saya berkesempatan menumpang becak menuju rumah ibu. Sore itu, tak biasanya udara begitu segar, angin lembut menerpa wajah dan rambutku. Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama, keheninganku terusik dengan suara kunyahan dari belakang, “Abang becak …?” Ya, kudapati ia tengah lahapnya menyuap potongan terakhir pisanggoreng di tangannya. Sementara tangan satunya tetap memegang kemudi. “Heeh, puasa-puasa begini seenaknya saja dia makan …,” gumamku.
Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya, dan … untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada
saat kebanyakan orang tengah berpuasa.
“mmm …, Abang muslim bukan? tanyaku ragu-ragu. “Ya dik, saya muslim ..” jawabnya terengah sambil terus mengayuh. “Tapi kenapa abang tidak puasa? abang tahu kan ini bulan ramadhan.Sebagai muslim seharusnya abang berpuasa. Kalau pun abang tidak berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi abang jangan seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa ..” deras aliran kata keluar dari mulutku layaknya orang berceramah.
Tukang becak yang kutaksir berusia di atas empat puluh tahun itu menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya sambil memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.
“Dua hari pertama puasa kemarin abang sakit dan tidak bisa narik becak. Jujur saja dik, abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng ini makanan pertama abang sejak tiga hari ini.” Tanpa memberikan kesempatanku untuk memotongnya, “Tak perlu ajari abang berpuasa, orang-orang seperti kami sudah tak asing lagi dengan puasa,” jelas bapak tukang becak itu.
“Maksud bapak?” mataku menerawang menunggu kalimat berikutnya. “Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka. Kami berpuasa tanpa sahur dan tanpa berbuka. Kebanyakan orang seperti adik berpuasa hanya sejak subuh hingga maghrib,
sedangkan kami kadang harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya …”
“Jadi …,” belum sempat kuteruskan kalimatku, “Orang-orang berpuasa hanya di bulan ramadhan, padahal kami terus berpuasa tanpa peduli bulan ramadhan atau bukan …”
“Abang sejak siang tadi bingung dik mau makan dua potong pisang goreng ini, malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya abang tidak menghormati orang yang berpuasa, tapi…” kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya di tempat tujuan.
Sungguh. Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih ke dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya.Karena jika perutnya tak terganjal mungkin roda becak ini pun takkan berputar ..
Ah, kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya sendiri? Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa orang-orang yang dekat dengan saya nampaknya luput dari perhatian dan kepedulian saya?

Delapan Kebohongan Seorang Ibu

Berikut sebagian keciiiiil dari kebohongan seorang ibu; disadur dari milis tetangga dan dikirimkan oleh seorang teman kepada saya. Saya muatkan disini semoga ada dapat menjadi bahan renungan dan bermanfaat bagi kita semua.

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata: “Makanlah nak, aku tidak lapar”

———- KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk di sampingku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sendokku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan”

———- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA

Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku berkata :”Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata :”Cepatlah tidur nak, aku tidak capek”

———- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata :”Minumlah nak, aku tidak haus!”

———- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata : “Saya tidak butuh cinta”

———- KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : “Saya punya duit”

———- KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM

Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia erkata kepadaku “Aku tidak terbiasa”

———- KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : “jangan menangis anakku, Aku tidak kesakitan”

———- KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibu tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.