Dalam tiga hari ini saya mendapakan pengalaman menarik yang sekaligus memberikan hikmah penting. Di sebelah rumah, tukang sedang melaksanakan pembuatan tangga beton untuk musala (karena musala direncanakan dua lantai). Area tangga yang akan dibuat adalah: tinggi tangga (vertikal) adalah 320 cm (tinggi lantai pertama ke lantai kedua), dan panjang tangga (horizontal) adalah 350 cm. Si tukang akan membuat anak tangga dengan tinggi (tanjakan) 20 cm dan lebar anak tangga (pijakan) 30 cm.
Saya mendatangi si tukang dan menjelaskan bahwa itu tidak mungkin bisa dibuat. Kalau tinggi anak tangga (tanjakan) 20 cm, dengan tinggi tangga secara keseluruhan 320 cm, maka akan ada 16 tanjakan (320/20) . Kalau ada 16 tanjakan, berarti harus ada 15 pijakan (16 dikurangi satu, karena sudah termasuk pijakan lantai atas atau bawah). Kalau 15 pijakan dengan lebar pijakan 30 cm, maka panjang tangga keseluruhan (horizontal) adalah 15 x 30 cm = 450 cm. Padahal lokasi yang disediakan hanya 350 cm.
Si Tukang menjawab bahwa membuat tangga tidak bisa dihitung seperti itu. Si Tukang juga menjelaskan bahwa mereka sudah biasa membuat tangga dengan cara membuat dulu kerangka dari kayu untuk dasar kemiringan tangganya, kemudian baru dihitung dan dipatok/diukur posisi anak tangganya.
Karena tidak mampu menjelaskan perhitungan secara matematik, saya coba buat gambar sederhana untuk memberikan penjelasan seperti berikut:
Tetapi si tukang tetap bertahan dengan pengalamannya membuat tangga selama ini. Dia mulai membuat kerangka dari kayu untuk dasar kemiringan tanggan dan merangkai besi untuk cor lantai kemiringan tangga. Dua hari bekerja, memasuki hari ketiga ketika mulai menghitung dan mematok posisi anak tangga, si Tukang kebingungan karena dia hanya berhasil membuat 11 anak tangga, dan tangga menggantung, dalam artian dari pijakan anak tangga terbawah ke lantai dasar terdapat jarak sekitar 80 cm. Dengan ukuran setinggi tersebut, tentunya sangat tidak layak melangkah terutama bagi anak-anak dan orang tua.
Sekali lagi saya mendatangi si Tukang, dan menjelaskan kembali perhitungan yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Tetapi dengan pelan-pelan dan bahasa sederhana. Akhirnya si Tukang memahami, dan kemudian membongkar kerangka yang sudah dibuat, menambah panjang tangga secara keseluruhan menjadi 450 cm, dan terpaksa juga membongkar sebagian lantai bagian atas yang sudah dicor (memperlebarnya). Pekerjaan dua hari si Tukang, ditambah dengan satu hari untuk membongkar pekerjaan yang dua hari tersebut, akhirnya menjadi sia-sia dan tidak memberikan hasil.
Pengalaman ini memang sederhana, sesederhana membuat tangga. Tapi banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan disini, diantaranya:
- Dalam bekerja, kita tidak bisa hanya mengandalkan pengalaman semata. Pengalaman semata hanya dapat diandalkan kalau pekerjaan yang dihadapi memiliki karakteristik yang persis sama dengan pekerjaan yang sebelumnya pernah dilakukan (misalnya dalam kasus tangga ini, panjang, tinggi, lebar tangga yang sama).
- Kegagalan si Tukang disebabkan dua hal: Pertama, dia mengabaikan perencanaan dalam bekerja dan kedua, dia tidak memiliki pengetahuan/teori/logika tentang apa yang dikerjakan (hanya mengandalkan pengalaman semata).
- Kalau dalam kasus ini posisi saya boleh dianggap sebagai perencana kecil-kecilan dan orang yang memiliki teori yang juga kecil-kecilan, saya juga termasuk gagal. Sebagai perencana, saya gagal meyakinkan pelaksana (si Tukang) bahwa merencanakan sesuatu itu penting sebelum melaksanakan pekerjaan. Sebagai orang yang memiliki teori saya juga gagal mentransfer dan memadukan teori tersebut kepada si Tukang yang punya pengalaman.
- Tapi, saya juga tidak boleh berbangga hati sebagai perencana dan orang yang memiliki teori. Karena tanpa adanya si Tukang sebagai pelaksana dan yang memiliki pengalaman/keterampilan, tangga musala itu juga tidak akan bisa dibuat. Karena saya sendiri tidak punya pengalaman/keterampilan bertukang.
- Dari berbagai pelajaran tersebut, maka kesimpulan penting yang bisa diambil adalah, perlunya perpaduan antara perencanaan, teori/pengetahuan/logika/pendidikan, pengalaman, dan pelaksanaan yang baik, agar suatu pekerjaan dapat menghasilkan output yang baik dan sesuai dengan yang diharapkan.
Pengalaman ini juga menyisakan satu pertanyaan besar. Kalau mengurus/membuat sesuatu yang sesederhana membuat tangga membutuhkan berbagai paduan elemen perencanaan, teori/pengetahuan/logika/pendidikan, pengalaman, dan pelaksanaan yang baik; (1) apakah kita bisa yakin kalau mengurus sesuatu yang lebih besar (negara, kementerian, daerah dllnya), kita tidak perlu memadukan elemen2 tersebut? Apakah cukup kita serahkan pada orang yang hanya punya keahlian merencanakan tanpa punya pengalaman dan kemampuan kerja yang memadai? (2) apakah kita bisa yakin menyerahkan pada orang yang hanya punya pendidikan memadai tapi mengabaikan perencanaan, tanpa punya pengalaman dan kemampuan kerja yang memadai? (3) apakah kita bisa yakin menyerahkan pada orang yang hanya punya pengalaman tapi mengabaikan perencanaan, tanpa punya pendidikan dan kemampuan kerja yang memadai? Atau (4) apakah kita bisa yakin menyerahkan pada orang yang hanya punya kemampuan kerja yang memadai tapi mengabaikan perencanaan?
Filed under: Opini & Renungan | Tagged: pelaksanaan, perencanaan, teori | 1 Comment »